Jumat, 19 Oktober 2012

Badui....dan catatan kecilku...

Cerita ini adalah cerita beberapa tahun yang lalu. Seorang wartawan majalah yang notabene adalah pengisi materi pada kursus fotografi yang kuikuti, mengajak peserta kursus untuk mengkutinya ke Badui. Rasanya tak ingin melewatkan kesempatan tersebut aku langsung ambil bagian dari daftar robongan kecil yang berjumlah tujuh orang.

Naik kereta ke Rangkas Bitung adalah awal dari sekelumit perjalanan panjang kami. Perjalanan memakan waktu sekitar dua jam lebih untuk sampai di Rangkas.

Sesampainya di Rangkas Bitung, langsung saja kami menghantam nasi di warung pinggir stasiun....lalu di lanjutkan berbelanja ikan asin di pasar Rangkas Bitung. Ya, ikan asin, oleh-oleh untuk masyarakat Badui. Mereka suka sekali di oleh-olehi ikan asin.

Lalu perjalan berlanjut menumpang elf. Sesampainya di tempat pemberhentian ternyata tidak langsung sampai di Badui. Berkilo-kilo panjang perjalanan dengan berjalan kaki yang harus kami tempuh.

Ketika memulai perjalanan, melintaslah seorang badui. Si wartawan serta merta meneriakinya, meminta untuk membawa barang-barang, tentu saja dengan upah. Salah satu anggota rombongan kami berinisiatif mengikutinya.

Tak sampai berapa menit keduaya sudah menghilang entah kemana. Ya, fisik orang badui terkenal kuat dan tangkas, termasuk soal berjalan.

Jujur saja, aku belum pernah berjalan sejauh ini, dan perlatan yang kubawa tidak memadai. Hujan deras mengguyur, masing-masing mengeluarkan raincoatnya. Aku betul-betul tak menyangka, hujan deras kami jalan terus. Yah, ini bukan perjalanan singgah ke hotel yang kemana-mana naik taksi.

Fiuhh, karena kurang persiapan tas yang kubawa tidak sesuai, tembus air. Hasilnya, basah semua baju di dalam tas..hiks..hiks...si wartawan dengan sigap mengeluarkan palstik besar dari dalam tasnya. Mirip seperti superman, palstik itu di ikat di leher untuk melindungi tasnya dari hujan.

Dan akhirnya kami bertemu teman yang mengikuti si badui tadi. Sibuk menggaruk, badannya penuh bentol-bentol. Dia bercerita, si Badui tadi mengambil jalan antah berantah...terjun ke sungai masuk ke semak. Yang lain pun seperti menahan tawa melihat nasib teman seperjalanan kami.

Sore hari kami tiba di perkampungan badui dalam. Pohon-pohon yang terbakar di bingkai oleh matahari senja..perlu beberapa alasan tepat untuk tidak mengeluarkan kamera.

Akhirnya sampai di rumah seorang Badui yang sudah berkawan akrab dengan si wartawan. Masing-masing kami mengumpulkan uang 7rb untuk biaya "hotel".

Malam itu ambu--istri si empunya rumah--memasak ikan mujair, di bakar. Sedang nasinya setengah matang, masih sangat keras. Mau tidak mau aku harus memakannya.

Akhirnya waktu tidur menyelimuti kelelahanku. Dan besok kami akan melanjutkan perjalanan menuju dua kampung badui dalam yang lain.

Esoknya, sempat bertemu si kepala suku. Kami pun di perkenalkan. Dengan syarat, tidak boleh mengambil foto, tidak boleh berjabat tangan. Yah, cuma si kepala sukulah yang tidak boleh berjabat tangan.

Dan tercatat, si pemilik rumahlah satu-satunya badui dalam yang bersedia kami foto. Bak model, dia berpose, mengerjakan anyaman bambu. Seperti mengerti apa yang kami inginkan. Ia dengan serius membuat anyaman bambu tersebut sealami mungkin.

Akhirnya, kami pun pulang ke kehidupan nyata kami. Di perjalanan pulang kami melihat anak-anak badui dalam yang sedang menumbuk, padi atau gandum kurang begitu jelas. Dengan sigap kukeluarkan kamera, begitu juga dengan yang lain.

Dari dalam gubuk, kami mendengar suara,"ulah, ulah" . Tapi sayang, ego kami terus memaksa kami menjepretkan kamera, memuaskan hasrat, itulah dilema dari fotografi.

Dan foto-foto itu sekarang, tersusun rapi di dalam laci lemari. Memaksaku untuk menulis secuil dari yang ku ingat tentang Badui.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar